HUKUM JUAL BELI
Pengertian Jual Beli
Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya yang mulia demikian pula Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya yang suci beberapa hukum
muamalah, karena butuhnya manusia akan hal itu, dan karena butuhnya
manusia kepada makanan yang dengannya akan menguatkan tubuh, demikian
pula butuhnya kepada pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya
dari berbagai kepentingan hidup serta kesempurnaanya.
Hukum Jual Beli
Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan al Kitab, as Sunnah, ijma serta qiyas :
Allah Ta’ala berfirman : ” Dan Allah menghalalkan jual beli Al Baqarah”
Allah Ta’ala berfirman : ” tidaklah dosa bagi kalian untuk mencari keutaman (rizki) dari Rabbmu ”
(Al Baqarah : 198, ayat ini berkaitan dengan jual beli di musim haji)
Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Dua orang yang saling
berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling
berpisah, maka jika keduianya saling jujur dalam jual beli dan
menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan
diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya saling
berdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan dicabut barokah jual
beli dari keduanya”
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)
Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual
beli, adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia
mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan
dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuaitu yang
dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali
dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu
menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang
dikehendaki. .
Akad Jual Beli :
Akad jual beli bisa dengan bentuk perkataan maupun perbuatan :
• Bentuk perkataan terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual
seperti ucapan ” saya jual” dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari
pembeli dengan ucapan “saya beli ”
• Bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari
perbuatan mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang
dagangan kepadanya (pembeli) dan (pembeli) memberikan harga yang wajar
(telah ditentukan).
Dan kadang bentuk akad terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus :
Berkata Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullah : jual beli Muathoh ada beberapa gambaran
1. Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan pembeli mengambilnya
seperti ucapan ” ambilah baju ini dengan satu dinar, maka kemudian
diambil, demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti
mengucapkan “ambilah baju ini dengan bajumu”, maka kemudian dia
mengambilnya.
2. Pembeli mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi,
sama saja apakah harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk
suatu jaminan dalam perjanjian.(dihutangkan)
3. Keduanya tidak mengucapkan lapadz apapun, bahkan ada kebiasaan yaitu
meletakkan uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu yang telah dihargai.
Syarat Sah Jual Beli
Sahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad
dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut
hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya. Adapun syarat tersebut
adalah sbb :
Bagi yang beraqad :
1. Adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi
suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa
tanpa haq (sesuatu yang diperbolehkan) berdasarkan firman Allah Ta’ala ”
kecuali jika jual beli yang saling ridha diantara kalian “, dan Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda “hanya saja jual beli itu terjadi
dengan asas keridhan” (HR. Ibnu Hiban, Ibnu Majah, dan selain keduanya),
adapun apabila keterpaksaan itu adalah perkara yang haq (dibanarkan
syariah), maka sah jual belinya. Sebagaimana seandainya seorang hakim
memaksa seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya, maka
meskipun itu terpaksa maka sah jual belinya.
2. Yang beraqad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk
melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang yang
sehat akalnya, maka tidak sah jual beli dari anak kecil, bodoh, gila,
hamba sahaya dengan tanpa izin tuannya.
(catatan : jual beli yang tidak boleh anak kecil melakukannya transaksi
adalah jual beli yang biasa dilakukan oleh orang dewasa seperti jual
beli rumah, kendaraan dsb, bukan jual beli yang sifatnya sepele seperti
jual beli jajanan anak kecil, ini berdasarkan pendapat sebagian dari
para ulama pent)
3. Yang beraqad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau menempati
posisi sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan sabda Nabi
kepada Hakim bin Hazam ” Janganlah kau jual apa yang bukan milikmu”
(diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya).
Artinya jangan engkau menjual seseuatu yang tidak ada dalam
kepemilikanmu.
Berkata Al Wazir Ibnu Mughirah Mereka (para ulama) telah sepakat
bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan tidak juga
dalam kekuasaanya, kemudian setelah dijual dia beli barang yang lain
lagi (yang semisal) dan diberikan kepada pemiliknya, maka jual beli ini
bathil
Bagi (Barang) yang diaqadi
• Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara
mutlaq, maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil
manfaatnya seperti khomer, alat-alat musik, bangkai berdasarkan sabda
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ” Sesungguhnya Allah mengharamkan
menjual bangkai, khomer, dan patung (Mutafaq alaihi). Dalam riwayat Abu
Dawud dikatakan ” mengharamkan khomer dan harganya, mengharamkan bangkai
dan harganya, mengharamkan babi dan harganya”, Tidak sah pula menjual
minyak najis atau yang terkena najis, berdasarkan sabda Nabi ”
Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu (barang) mengharamkan juga
harganya “, dan di dalam hadits mutafaq alaihi: disebutkan ” bagaimana
pendapat engkau tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak itu dipakai
untuk memoles perahu, meminyaki (menyamak kulit) dan untuk dijadikan
penerangan”, maka beliau berata, ” tidak karena sesungggnya itu adalah
haram.”.
• Yang diaqadi baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk
didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan
(dikuasai) menyerupai sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual
belinya, seperti tidak sah membeli seorang hamba yang melarikan diri,
seekor unta yang kabur, dan seekor burung yang terbang di udara, dan
tidak sah juga membeli barang curian dari orang yang bukan pencurinya,
atau tidak mampu untuk mengambilnya dari pencuri karena yang menguasai
barang curian adalah pencurinya sendiri..
• Barang yang diaqadi tersebut diketahui ketika terjadi aqad oleh yang
beraqad, karena ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan suatu
bentuk penipuan, sedangkan penipuan terlarang, maka tidak sah membeli
sesuatu yang dia tidak melihatnya, atau dia melihatnya akan tetapi dia
tidak mengetahui (hakikat) nya. Dengan demikian tidak boleh membeli unta
yang masih dalam perut, susu dalam kantonggnya. Dan tidak sah juga
membeli sesuatu yang hanya sebab menyentuh seperti mengatakan “pakaian
mana yang telah engkau pegang, maka itu harus engkau beli dengan (harga)
sekian ” Dan tidak boleh juga membeli dengam melempar seperti
mengatakan “pakaian mana yang engaku lemparkan kepadaku, maka itu
(harganya0 sekian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radiallahu
anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli dengan
hasil memegang dan melempar” (mutafaq alaihi). Dan tidak sah menjual
dengan mengundi (dengan krikil) seperti ucapan ” lemparkan (kerikil)
undian ini, maka apabila mengenai suatu baju, maka bagimu harganya
adalah sekian ”
Sumber : Mulakhos Fiqhy Syaikh Sholeh bin Fauzan AL Fauzan Penerbit Dar Ibnul Jauzi – Saudi Arabia
Khiyar (memilih) dalam Jual Beli
Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Abdullah Alu Fauzan
Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang penuh kemudahan dan syamil
(menyeluruh) meliputi segenap aspek kehidupan, selalu memperhatikan
berbagai maslahat dan keadaan, mengangkat dan menghilangkan segala beban
umat. Termasuk dalam maslahat tersebut adalah sesuatu yang Allah
syariatkan dalam jual beli berupa hak memilih bagi orang yang
bertransaksi, supaya dia puas dalam urusannya dan dia bisa melihat
maslahat dan madharat yang ada dari sebab akad tersebut sehingga dia
bisa mendapatkan yang diharapkan dari pilihannya atau membatalkan jual
belinya apabila dia melihat tidak ada maslahat padanya.
Pengertian Khiyar
Khiyar (memilih) dalam jual beli maknanya adalah memilih yang terbaik
dari dua perkara untuk melangsungkan atau membatalkan akad jual beli.
Khiyar terdiri dari delapan macam :
1. Khiyar Masjlis (pilihan majelis)
Yaitu tempat berlangsungnya jual beli. Maksudnya bagi yang berjual beli
mempunyai hak untuk memilih selama keduanya ada di dalam majelis.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shlallalahu ‘alalihi wasaallam. “Jika
dua orang saling berjual beli, maka masing-masing punya hak untuk
memilih selama belum berpisah dan keduanya ada di dalam majelis”
(Shahih, dalam shahihul Jami : 422)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata : Dalam penetapan adanya khiyar
majelis dalam jual beli oleh Allah dan Rasul-Nya ada hikmah dan maslahat
bagi keduanya, yaitu agar terwujud kesempurnaan ridha yang disyaratkan
oleh Allah ta’ala dalam jual beli melalui firman-Nya “Kecuali saling
keridhaan di atara kalian” (An Nisa :29) karena sesungguhnya akad jual
beli itu sering terjadi dengan tiba-tiba tanpa berfikir panjang dan
melihat harga. Maka kebaikan-kebaikan syariat yang sempurna ini
mengharuskan adanya sebuah aturan berupa khiyar supaya masing-masing
penjual dan pembeli melakukannya dalam keadaan puas dan melihat kembali
trasnsksi itu (maslahat dan mandaratnya). Maka masing-masing punya hak
untuk memilh sesuai dengan hadits “selama keduanya tidak berpisah dari
tempat jual beli”.
Kalau keduanya meniadakan khiyar (hanya asas kepercayaan) yaitu
saling berjual beli dengan syarat tidak ada khiyar, atau salah seorang
keduanya merelakan tidak ingin khiyar maka ketika itu harus terjadi jual
beli pada keduanya atau terhadap orang yang mengugurkan hak khiyarnya
hanya dengan sebatas akad saja. (karena khiyar itu merupakan hak dari
orang yang bertransaksi maka hak itu hilang jika yang punya hak
membatalkannya-pent). Sebagaimana sabda rasulullah “Selama keduana belum
berpisah atau pilihan salah seorang dari keduanya terhadap yang
lain”(Shahih, dalam Shahih Al Jami’: 422).
Dan diharamkan bagi salah satu dari kedunya untuk memisahkan
saudaranya dengan tujuan untuk menggugurkan hak khiyarnya berdasarkan
hadits Amr bin Syu’aib yang padanya terdapat perkataan Nabi :“Tidak
halal baginya untuk memisahkannya karena khawatir dia akan menerima hak
khiyar (menggagalkan jual belinya)”. (Hasan, dalam Irwaul Ghalil : 1211)
2. Khiyar Syarat,
Yaitu masing-masing dari keduanya mensyaratkan adanya khiyar ketika
melakukan akad atau setelahnya selama khiyar majelis dalam waktu
tertenu, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
“orang-orang muslim itu berada di atas syarat-syarat mereka” dan juga
karena keumuman firman Allah Ta’ala “Hai orang-orang yang beriman
tunaikanlah janji-janji itu” (Al Maidah :1.). Dua orang yang
bertransaksi sah untuk mensyaratkan khiyar terhadap salah seorang dari
keduanya karena khiyar merupakan hak dari keduanya, maka selama keduanya
ridho berarti hal itu boleh.
3. Khiyar Ghobn,
Yaitu jika seorang tertipu dalam jual beli dengan penipuan yang keluar
dari kebiasaan, maka seorang yang tertipu dia diberi pilihan apakah akan
melangsungkan transsaksinya atau membatalkannya. Dalilnya sabda rasul
“Tidak ada madharat dan tidak ada memadharati” (Silsilah As Shahihah :
250) dan sabdanya “Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan
kelapangan darinya (dalam menjualnya)” (Irwaul Ghalil : 1761) .
Dan orang yang tertipu tidak akan lapang jiwanya denga penipuan, kecuali
kalau penipuan tersebut adalah penipuan ringan yang sudah biasa
terjadi, maka tidak ada khiyar baginya.
Gambaran Khiyar Ghabn :
1. Orang-orang kota menyambut orang-orang yang datang dari pelosok
yang datang untuk mengambil (memeberikan) barang dagangan mereka di
kota, jika orang-orang kota menyambutnya kemudian membeli dari mereka
dalam keadaan jelas orang-orang yang datang dari pelosok itu tertipu
dengan penipuan yang besar, maka mereka berhak untuk memilih (khiyar)
karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam “Jangan kalian sambut
orang-orang yang datang itu, maka barang siapa yang menyambutnya dan
membeli barangnya, jika kemudian mereka datang ke pasar (ternyata dia
mengetahui harganya) maka dia berhak untuk khiyar” (HR. Muslim).
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasalam merlarang untuk menyambut
merkea di luar pasar yang didalamnya terdapat jual beli barang, dan
beliau memerintahkan jika penjual itu datang ke pasar sehingga dia
mengetahui harga-harga barang maka penjual tersebut berhak untuk
melanjutkan jual beli atau membatalkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “ Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasalam
menetapkan khiyar bagi pendatang jika dia bertemu dengan pembeli (dari
kota), karena padanya ada unsur penipuan.
Ibnul Qoyim menjelaskan “Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasalam melarang
darinya (melakukan penyambutan untuik membeli, -pent) karena adanya
penipuan terhadap penjual yaitu penjual tidak tahu harga, sehingga
orang-orang di kota membeli darinya dengan harga minim, oleh karena itu
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasalam menetapkan hak khiyar bagi penjual
setelah dia memasuki pasar. Adapun tentnag adanya khiyar dalam kodisi
tertipu tidak ada pertentangan di kalangan para ulama karena penjual
yang datang ke kota jika dia tidak tahu harga, maka dia teranggap tidak
tahu terhadap harga-harga yagg semestinya sehingga dengan demikian
pembeli telah menipunya. Demikian pula jika penjual menjual sesuatu
kepada pembeli maka bagi pembeli berhak untuk khiyar jika dia masuk
pasar dan merasa tertipu dengan penipuan yang keluar dari kebiasaan.
2. Penipuan yang disebabkan oleh adanya tambahan harga oleh najasy,
Najasy yaitu orang yag memberikan tambahan terhadap barang dagangan
sedangkan dia sendiri tidak berniat untuk membelinya melainkan hanya
sekedar untuk menaikan harga barang terhadap pembeli. Maka ini adalah
amalan yang diharamkan, Nabi Shallahllahu ‘alaihi Wasallam telah
melarang dengan sabdanya “Janganlah kalian saling nerbuatan nasjasy”
(Shahih dalam Shahih Abu Dawud No 2922, Shahih Ibnu Majah 1767, Shahih
Tirmidzi No 1050 dll), karena pada perbuatan ini ada unsur penipuan
terhadap pembeli dan ini termasuk ke dalam makna Ghisy.
Termasuk ke dalam Najasy yang diharamkan adalah yaitu pemilik barang
mengatakan “aku berikan kepada orang lain dengan harga sekian” padahal
dia dusta”, atau mengatakan“ aku tidak akan menjualnya kecuali dnegan
harga sekian padahal dia dusta.
Gambaran lain dari najasy yang diharamkan adalah pemilik barang
mengatakan “Tidaklah aku menjual barang ini kecuali dengan harga sekian
atau seharga sekian, dengan tujuan supaya pembeli membelinya dengan
harga minimal yang dia sebutkan seperti mengatakan terhadap suatu barang
“harga barang ini lima ribu saya jual dengan harga sepuluh ribu” dengan
tujuan pembeli membelinya dengan harga yang mendekati nilai sepuluh
ribu (padahal dia dusta, -pent)
3. Ghabn Mustarsil. Ibnul Qoyim berkata dalam hadits disebutkan
“Menipu orang yang mustasrsil adalah riba” (Hadits Bathil dalam Silsilah
Ad Dhaifah : 668, dan lemah dalam Dhaiful Jami : 2908, Al Albany) .
Mustarsil adalah orang yang tidak tahu harga dan tidak bisa menawar
bahkan dia percaya sepenuhnya kepada penjual, jika ternyata dia ditipu
dengan penipuan yang besar maka dia punya hak untuk khiyar
Ghabn adalah diharamkan karena padanya mengandung unsur penipuan
terhadap pembeli. Dan beberapa perkara yang diharamkan dan sering
terjadi di pasar-pasar kaum muslimin seperti sebagian orang ketika
membawa barang dagangan ke pasar.
Orang-orang pasar sepkat untuk tidak menawar barang (dengan harga
tinggi), apabila pembeli tidak ada yang bersedia menambah harta
pembelian, maka akhirnya penjual terpaksa menjualnya dengan harta murah.
Maka ini adalah Ghabn (penipuan) yang dzalim dan diharamkan. Apabila
pemilik barang mengetahui bahwa dia telah ditipu maka boleh baginya
untuk khiyar dan mengambil kembali barangnya. Maka wajib bagi yang
melakukan penipuan seperti ini untuk meninggalkan perbuatan ini dan
bertaubat darinya. Dan bagi yang mengetahui hal ini wajib baginya untuk
mengingkari orang yang berbuat seperti ini dan menyampaikan kepada pihak
yang berwenang untuk ditindak.
4. Khiyar Tadlis,
Yaitu khiyar yang disebabkan oleh adanya tadlis. Tadlis yaitu menampakan
barang yang aib (cacat) dalam bentuk yang bagus seakan-akan tidak ada
cacat. Kata tadlis diambil dari kata addalah dengan makna ad dzulmah
(gelap) yaitu seolah-olah penjual menunjukan barang kepada pembeli yang
bagus di kegelapan sehingga barang tersebut tidak terlihat secara
sempurna. Dan ini ada dua macam
Pertama : menyembunyian cacat barang
Kedua : Menghiasi dan memperindahnya dengan sesuatu yang menyebabkan harganya bertambah.
Tadlis ini haram, karena dia merasa tertipu dengan membelanjakan
hartanya terhadap barang yang ditunjukan oleh penjual dan kalau dia tahu
barang yang dibeli itu tidak sesuai dengan harga yang dia berikan maka
syariat memperbolehkan bagi pembeli untuk mengembalikan barang
pembeliannya.
Diantara contoh-contoh tadlis yang ada adalah menahan air susu kambing,
sapi dan unta ketika hendak dipajang untuk dijual, sehingga pembeli
mengira ternak itu selalu banyak air susunya. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda “janganlah kalian membiarkan air susu unta dan kambing
(sehingga tampak banyak air susunya), maka apabila dia tetap menjualnya
maka bagi pembeli berhak untuk khiyar dari dua pilihan apakah dia akan
melangsungkan membeli atau mengembalikannya dengan satu sha kurma”.
(Shahih dalam Shahihul Jami :7347, Al Albany)
Contoh lain adalah menghiasi rumah yang cacat untuk menipu pembeli atau
penyewa, menghiasi mobil-mobil sampai nampak seperti belum pernah
dipakai dengan maksud untuk menipu pembeli serta contoh-contoh lainnya
dari bentuk penipuan..
Maka wajib bagi seorang muslim untuk berlaku jujur serta menjelaskan
hakikat dari barang-barang yang akan dijual, sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam “Dua orang penjual dan pembeli berhak untuk
khiyar selama keduanya tidak berpisah. Apabila keduanya jujur dan
menjelaskan (hakikat dari barang-barangnya), maka berkah bagi keduanya
dalam jual beli.. Akan tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan
aib barangnya, maka terhapuslah berkah jual belinya.” (Shahihdalam
Shahihul Jami’ :2897, Al Albany) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun
mengabarkan bahwa “Jujur dalam menjual dan membeli adalah dari sebab
berkah, dan sesungguhnya dusta adalah penyebab hilangnya berkah.” Maka
harga (nilai uang) meskipun sedikit apabila disertai dengan kejujuran
maka Allah akan memberikan berkah padanya, dan sebaliknya banyak akan
tetapi disertai dengan kedustaan maka hal itu akan mengapuskan berkah
dan tidak ada kebaikan padanya.
5. Khiyar Aib
Yaitu khiyar bagi pembeli yang disebabkan adanya aib dalam suatu barang
yang tidak disebutkan oleh penjual atau tidak diketahui olehnya, akan
tetapi jelas aib itu ada dalam barang dagangan sebelum dijual. Adapun
ketentuan aib yang memperbolehkan adanya khiyar adalah dengan adanya aib
itu biasanya menyebabkan nilai barang berkurang, atau mengurangi harga
barang itu sendri.. Adapun landasan untuk mengetahui hal ini kembali
kepada bentuk perniagaan yang sudah terpandang, kalau mereka
menganggapnya sebagai aib maka boleh adanya khiyar, dan kalau mereka
tidak menganggapnya sebagai suatu aib yang dengannya dapat mengurangi
nilai barang atau harga barang itu sendiri maka tidak teranggap adanya
khiyar. Apabila pembeli mengetahui aib setelah akad, maka baginya berhak
khiyar untuk melanjutkan membeli dan mengambil ganti rugi seukuran
perbedaan antara harga barang yang baik dengan yang terdapat aib. Atau
boleh baginya untuk membatalkan pembelian dengan mengembalikan barang
dan meminta kembali uang yang telah dia berikan..
6. Khiyar Takhbir Bitsaman
Menjual barang dengan harga pembelian, kemudian dia mengkhabarkan kadar
barang tersebut yang ternyata tidak sesuai dengan hakikat dari barang
tersebut.seperti harga itu lebih banyak atau lebih sedikit dari yang dia
sebutkan, atau dia berkata “Aku sertakan engkau dengan modalku di dalam
barang ini” atau dia mengatkaan “Aku jual kepadamu barang ini dengan
laba sekian dari modalku” atau dia mengatkaan “Aku jual barang ini
kepadamu kurang sekian dari harga yang aku beli”. Dari keempat gambaran
ini jika ternyata modalnya lebih dari yang dia khabarkan , maka bagi
pembeli boleh untuk memilih antara tetap membeli atau mengembalikannya
menurut pendapat suatu madzhab. Menurut pendapat yang kedua dalam kodisi
seperti ini tidak ada khiyar bagi pembeli, dan hukum berlaku bagi harga
yang hakiki, sedang tambahan itu akan jatuh darinya (tidak bermakna).
Wallahu a’lam
7. Khiyar bisababi takhaluf
Khiyar yang terjadi apabila penjual dan pembeli berselisih dalam
sebagian perkara, seperti berselisih dalam kadar harga atau dalam barang
itu sendiri, atau ukurannya, atau berselisih dalam keadaan tidak ada
kejelasan dari keduanya, maka ketika itu terjadi perselisihan. Ketika
kedunya saling berbeda terhadap apa yang diinginkan maka keduanya boleh
untuk membatalkan jika dia tidak ridha dengan perkataan yang lainnya
8. Khiyar ru’yah
Khiyar bagi pembeli jika dia membeli sesuatu barang berdasarkan
penglihatan sebelumnya, kemudian ternyata dia mendapati adanya perubahan
sifat barang tersebut, maka ketika itu baginya berhak untuk memilih
antara melanjutkan pembelian atau membatalkannya.
Wallahu a’lam
Sumber : Mulakhos Fiqhy Juz II Oleh Syaikh Sholeh Fauzan Al Fauzan
JUAL BELI YANG TERLARANG
Oleh : Syaikh Shaleh bin Fauzan Abdullah Alu Fauzan
Allah Ta’ala membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak
melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti
melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap
kewajiban lainnya.
Jual Beli Ketika Panggilan Adzan
Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan
shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang kedua,
berdasarkan Firman Allah Ta’ala :“Hai orang-orang yang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah : 9).
Allah melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan
yang menghalanginya untuk melakukan Shalat Jum’at. Allah mengkhususkan
melarang jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering)
menyebabkan kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna
pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Kemudian Allah mengatakan
“dzalikum” (yang demikian itu), yakni yang Aku telah sebutkan kepadamu
dari perkara meninggalkan jual beli dan menghadiri Shalat Jum’at adalah
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui akan maslahatnya. Maka,
melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli sehingga mengabaikan
shalat Jumat adalah juga perkara yang diharamkan.
Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan
aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk
menghadirinya. Allah Ta’ala berfirman “Bertasbih kepada Allah di
masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut
nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang
tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut
pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan
kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka.
Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
(QS. 24:36-37-38).
Jual Beli Untuk Kejahatan
Demikian juga Allah melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu
terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Allah.
Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat
khamer karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan. Hal ini
berdasarkan firman Allah ta’ala “Janganlah kalian tolong-menolong dalam
perbuatuan dosa dan permusuhan (Ai Maidah : 2)”
Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang
lainnya di waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya
tidak menjadi penyebab adanya pembunuhan. Allah dan Rasul-Nya telah
melarang dari yang demikian.
Ibnul Qoyim berkata
“Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa maksud dari akad jual beli
akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut. Maka persenjataan yang
dijual seseorang akan bernilai haram atau batil manakala diketahui
maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh seorang Muslim. Karena
hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya dosa dan permusuhan.
Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fi
sabilillah maka ini adalah keta’atan dan qurbah. Demikian pula bagi
yang menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan
perjuangan kaum muslimin maka dia telah tolong menolong untuk
kemaksiatan.”
Menjual Budak Muslim kepada Non Muslim
Allah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia
tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak
tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir. Allah ta’ala telah
berfirman “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang
kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. 4:141).
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Islam itu tinggi dan tidak
akan pernah ditinggikan atasnya” (shahih dalam Al Irwa’ : 1268, Shahih
Al Jami’ : 2778)
Jual Beli di atas Jual Beli Saudaranya
Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti
seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga
sepuluh, “Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga
sembilan”.. Atau perkataan “Aku akan memberimu lebih baik dari itu
dengan harga yang lebih baik pula”. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Tidaklah sebagian diatara kalian diperkenankan untuk menjual (barang)
atas (penjualan) sebagian lainnya.”(Mutafaq alaihi). Juga sabdanya:
“Tidaklah seorang menjual di atas jualan saudaranya (Mutfaq ‘alaih)”.
Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya.
Seperti mengatakan terhadap orang yang menjual dengan harga sembilan :
“Saya beli dengan harga sepuluh”
Kini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang diharamkan seperti ini
terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita untuk
menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta
mengingkari segenap pelakunya.
Samsaran
Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang
bertindak sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang
orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu
meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun
sebaliknya, pent). Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam :“Tidak boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan
barang terhadap orang yang baadi (orang kampung lain yang dating ke
kota)”
Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata: “Tidak boleh menjadi Samsar
baginya”(yaitu penunjuk jalan yang jadi perantara penjual dan pemberi).
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Biarkanlah manusia berusaha
sebagian mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan rizki
Allah, (Shahih Tirmidzi, 977, Shahih Al Jami’ 8603”
Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan
barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim)
pergi menemui penduduk kampung (pendatang) dan berkata “Saya akan
membelikan barang untukmu atau menjualkan“. Kecuali bila pendatang itu
meminta kepada penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau
menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang”
Jual Beli dengan ‘Inah
Diantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara
‘inah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit,
kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih
rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp
20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi
dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam
hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan. Maka ini
adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang
bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham
yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan
adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar
tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian telah berjual
beli dengan cara ‘inah’ dan telah sibuk dengan ekor-ekor sapi (sibuk
denngan bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Allah
akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat
kehinaan dari kalian, sampai kalian kembail kepada agama kalian.”
(Silsilah As Shahihah : 11, Shahih Abu Dawud : 2956) dan juga sabdanya “
Akan datang pada manusia suatu masa yang mereka menghalalkan riba
dengan jual beli “ (Hadits Dha’if , dilemahkan oleh Al Albany dalam
Ghayatul Maram : 13)
Wallahu a’lam
(Dikutip dari situs Zisonline, tulisan al Ustadz Qomar Su’aidi, Lc.
Diarsipkan al akh Fikri Thalib. Sumber : Diambil dari Mulakhos Fiqhy Juz
II Hal 11-13)
sumber:http://salafy.or.id/blog/2003/07/01/hukum-jual-beli-dalam-islam/